
Ingatan yang Tidak Utuh di Ginza
Foto di atas adalah foto yang saya ambil di Ginza, Tokyo.
Saat itu saya tidak tahu arah. Tidak sedang mengejar lokasi tertentu. Tidak membuka peta. Saya hanya berjalan. Pelan. Sambil mengagumi kota yang terasa sangat tertata, sangat maju, dan jujur saja, sangat jauh dari apa yang selama ini saya lihat dan alami sepanjang hidup saya.
Ginza tidak terasa seperti kota yang sibuk dengan dirinya sendiri. Ia rapi, tertata, dan percaya diri. Tidak perlu membuktikan apa-apa. Segalanya seolah berada di tempat yang memang seharusnya.
Di titik itu, perasaan saya campur aduk. Senang, bersemangat, dan sedikit terharu. Ada dorongan aneh untuk memperlambat langkah. Seolah kalau saya berjalan terlalu cepat, hari itu akan segera habis.
Saya ingat satu pikiran sederhana muncul, andai waktu bisa berhenti sebentar saja, saya ingin menikmati pengalaman ini lebih lama.
Ketika Tidak Tahu Arah, Mata Justru Lebih Jujur
Karena tidak tahu jalan mana yang harus saya lalui, saya memutuskan untuk berhenti sejenak. Dan ketika berhenti, saya mulai benar-benar melihat.
Trotoar, garis zebra cross, fasad bangunan, refleksi kaca, semuanya terasa hadir. Tidak ada yang menuntut perhatian berlebihan, tapi semuanya bekerja bersama. Kota ini tidak berteriak. Ia hanya berdiri dengan tenang.
Di momen seperti itu, kamera bukan alat untuk mengabadikan, tapi alat untuk menahan waktu. Saya tidak memotret untuk bercerita. Saya memotret karena saya ingin mengingat perasaan itu. Perasaan menjadi kecil di tengah sistem yang sangat rapi, tapi tidak menindas.
Manusia Kecil, Kota Besar, dan Rasa Tidak Asing.
Saat melihat kembali foto itu, saya sadar manusia di dalam frame terlihat kecil. Hampir tenggelam di antara bangunan. Tapi anehnya, tidak ada rasa terancam.
Biasanya, skala yang timpang membuat kita merasa terasing. Tapi di Ginza, justru sebaliknya. Ketertataan kota memberi rasa aman. Seolah berkata, kamu boleh kecil tapi tidak apa-apa. Kami sudah menyiapkan ruang untukmu berjalan.
Mungkin itu yang membuat saya ingin menghentikan waktu. Bukan karena segalanya sempurna, tapi karena saya merasa diterima sebagai pengamat, bukan sebagai orang yang harus beradaptasi secara paksa.
Bangunan yang Terpotong dan Ingatan yang Tidak Utuh
Bangunan dalam foto itu terpotong. Tidak utuh. Tidak lengkap. Dan sekarang saya tahu kenapa. Ingatan juga bekerja seperti itu, semakin lama semakin hilang detailnya.
Kita jarang mengingat satu hari secara sempurna. Yang tersisa hanyalah potongan-potongan rasa. Sudut pandang. Cahaya. Suasana. Bukan keseluruhan kota, tapi fragmen yang menempel di kepala.
Frame itu tidak berusaha merangkum Ginza. Ia hanya menyimpan satu potongan perasaan saya hari itu. Dan itu sudah cukup untuk mengingat kembali rasa itu.
Foto Sebagai Cara Mengatakan “Tunggu!”
Di tengah hidup yang sering memaksa kita bergerak cepat, foto ini bagi saya adalah cara sederhana untuk berkata: tunggu dulu! Bukan kepada orang lain, tapi kepada diri sendiri. Tunggu sebentar. Lihat sekeliling. Rasakan langkah. Dengarkan kota. Karena ada hari-hari yang terlalu berharga untuk dilewati dengan tergesa-gesa
Penutup
Saya tidak tahu apakah foto ini bisa dinikmati bagi semua orang. Tapi saya tahu satu hal: foto ini jujur.
Ia lahir dari perjalanan tanpa arah, dari rasa kagum yang tulus, dan dari keinginan sederhana untuk menahan waktu agar tidak cepat berlalu dan saya memiliki waktu untuk mengingatnya.
Dan mungkin, di situlah fungsi fotografi yang paling personal.
Bukan untuk menjelaskan dunia, tapi untuk mengingat bagaimana rasanya berada di dalamnya.

