
Saat Semua Sama-Sama Berisik, yang Menang Hanya Argumen
Tidak ada lagi ketenangan.
Yang ada hanya suara yang saling menindih.
Di ruang digital, semua orang berbicara. Semua merasa perlu bersuara. Argumen dipertajam, emosi dipelihara, dan kemenangan diukur dari siapa yang paling keras. Bukan siapa yang paling memahami, apalagi siapa yang benar-benar melakukan sesuatu.
Saya sering merasa kita hidup di dunia yang sama-sama berisik.
Bukan karena tidak ada masalah, tapi karena terlalu banyak reaksi.
Argumen hari ini tidak selalu lahir dari pencarian kebenaran. Ia sering muncul dari kebutuhan untuk meluapkan emosi. Ada kepuasan sesaat saat pendapat kita dibenarkan, saat komentar kita disetujui, saat posisi kita terasa lebih unggul. Namun setelah itu, tidak banyak yang benar-benar berubah.
Di titik ini, ketenangan menjadi barang langka.
Bukan karena tidak ada ruang, tapi karena ruang itu dipenuhi suara.
Namun saya tidak melihat argumentasi sebagai sesuatu yang tidak perlu.
Justru sebaliknya.
Argumentasi berbasis penelitian adalah bentuk tanggung jawab intelektual. Ia membantu kita menahan diri dari kesimpulan cepat, menguji asumsi, dan memastikan bahwa apa yang kita bicarakan berpijak pada realitas. Argumentasi lahir bukan untuk menang, melainkan untuk memahami.
Masalahnya sering kali bukan pada argumennya, tetapi pada niat di baliknya. Ketika argumentasi digunakan untuk mengalahkan, ia berubah menjadi alat pembuktian ego. Penelitian dipilih untuk memperkuat posisi, bukan untuk membuka ruang dialog. Di sinilah diskusi kehilangan kedalamannya dan berubah menjadi kebisingan lain.
Padahal, ketika niat memahami hadir, argumentasi tidak perlu keras.
Ia cukup jujur, rapi, dan terbuka pada kemungkinan salah.
Penelitian menjadi jembatan, bukan senjata.
Sayangnya, di dunia yang sama-sama berisik, niat ini mudah tergerus. Argumen dipercepat, dipotong, lalu dilempar ke ruang publik tanpa waktu untuk bernapas. Yang tersisa bukan pemahaman, melainkan kepuasan emosi sesaat.
Di saat yang sama, kita sibuk memenangkan perdebatan, tapi lupa melakukan hal nyata. Diskusi panjang tidak berujung pada tindakan. Kritik tajam tidak berubah menjadi perbaikan. Energi habis untuk membalas, bukan membangun.
Sebagai kreator, saya melihat ini sebagai jebakan yang halus.
Argumen terasa produktif, padahal sering kali hanya memuaskan emosi. Kita merasa terlibat, merasa peduli, merasa berada di sisi yang benar. Tapi karya tidak lahir dari rasa puas itu. Karya lahir dari kerja yang sunyi dan konsisten.
Tidak ada yang salah dengan bersuara.
Yang berbahaya adalah ketika suara menggantikan tindakan.
Saat semua orang sibuk berbicara, melakukan sesuatu yang nyata justru terasa sepi. Membuat karya, membangun proses, atau sekadar menyelesaikan pekerjaan kecil tidak memberi sensasi kemenangan instan. Tidak ada tepuk tangan cepat, tidak ada perdebatan yang memacu adrenalin. Tapi di situlah perubahan benar-benar terjadi.
Mungkin dunia tidak membutuhkan argumen yang lebih kuat.
Ia membutuhkan lebih banyak niat untuk memahami,
dan lebih banyak hal nyata yang dikerjakan.
Lebih banyak proses yang dijalani tanpa pengumuman.
Lebih banyak karya yang lahir tanpa pembelaan.
Lebih banyak tindakan kecil yang tidak butuh validasi.
Di tengah dunia yang sama-sama berisik, memilih untuk bekerja adalah sikap yang sunyi. Bukan karena kita lemah dalam berargumen, tapi karena kita sadar bahwa pemahaman tanpa tindakan tidak pernah cukup.
Dan mungkin, ketenangan tidak datang dari siapa yang menang.
Melainkan dari apa yang akhirnya benar-benar jadi.

